JAKARTA, wertfootup.com – Salah satu bab paling menarik dalam perjalanan hidup Bahlil Lahadalia adalah kisah masa mudanya ketika ia pernah menjadi sopir angkot di Fakfak. Semasa SMA, Bahlil menghabiskan hari-harinya mengemudi angkot demi membantu ekonomi keluarga sekaligus membiayai sekolahnya. Terminal Thumburuni Fakfak bahkan menjadi “rumah kedua” baginya saat itu.
Dalam sebuah wawancara bernuansa nostalgia, Bahlil mengenang terminal tersebut sebagai tempat ia tumbuh dan mencari pengalaman hidup. Ia bahkan kembali mengemudikan angkot putih yang bentuknya mirip dengan kendaraan yang dulu ia bawa. Ia bercerita bahwa angkot masa mudanya jauh lebih sederhana dibanding angkot sekarang—setirnya berat karena belum ada power steering—namun ia tetap bisa mengendalikannya dengan ringan.
Bahlil juga menegaskan bahwa angkot yang ia kendarai saat itu bukan miliknya. Ia hanya menjadi sopir lepas, bekerja apa adanya untuk bertahan hidup. Ia mengaku masa mudanya penuh keterbatasan, bahkan untuk makan pun seringkali sulit. “Dulu makan saja susah,” tuturnya saat kembali mengunjungi Fakfak.
Perjalanan Pendidikan dan Kerja Keras Sejak Remaja
Meski harus bekerja keras sebagai sopir angkot, semangat belajarnya tidak pernah padam. Setelah menuntaskan SMA di Fakfak, ia memutuskan merantau ke Jayapura untuk kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Port Numbay. Dengan modal seadanya—ijazah SMA, tiga set pakaian, SIM, dan kantong kresek—ia nekat mengejar pendidikan tinggi.
Namun kehidupan di Jayapura tidak mudah. Ia sempat ditolak beberapa kampus dan hanya bisa masuk berkat bantuan ketua asrama tempat ia tinggal. Untuk bertahan hidup sambil kuliah, Bahlil mengambil berbagai pekerjaan: mendorong gerobak belanja di pasar, menjual koran, hingga pernah mengalami kelaparan parah saat memasuki semester enam.
Perjuangan panjang itu akhirnya membentuk kesadaran baru dalam dirinya: bahwa menjadi pengusaha adalah jalan yang bisa membawanya keluar dari kemiskinan.
Dari Sopir Angkot Menuju Dunia Usaha dan Pemerintahan
Selepas kuliah, Bahlil sempat bekerja sebagai pegawai kontrak sebelum akhirnya mendirikan perusahaan konsultan bersama beberapa rekannya. Dari situ, ia merintis sejumlah bisnis, termasuk PT Rifa Capital yang kemudian dikenal luas.
Seiring waktu, usaha yang ia bangun berkembang ke berbagai sektor seperti transportasi, properti, hingga investasi. Dari awal sebagai sopir angkot dan kondektur, Bahlil perlahan naik ke posisi strategis: memimpin HIPMI, kemudian dipercaya sebagai Kepala BKPM, hingga akhirnya menjabat Menteri Investasi.
Dalam satu kunjungan kerja ke Fakfak, Bahlil sempat kembali ke terminal Thumburuni. Ia menyetir lagi angkot seperti masa mudanya, mengenang perjalanan berat yang telah ia lalui. Ia mengobrol dengan para sopir dan kenek setempat, bahkan menyebut kembali istilah-istilah khas terminal seperti “setengah kopling”, “setengah gas”, hingga teriakan “kota, kota, kota” yang biasa ia lontarkan dahulu.
Kisah masa muda Bahlil Lahadalia yang pernah menjadi sopir angkot di Fakfak bukan sekadar nostalgia, tetapi pondasi penting dari perjalanan hidupnya. Dari terminal angkot, bangku kuliah, hingga ruang-ruang pemerintahan, ia membuktikan bahwa latar belakang sederhana bukan penghalang untuk meraih pencapaian besar.
Editor : Liga335
