Budi Arie dan Judi, Relawan sampai Nanti!

Relawan seperti Projo dibangun dari relasi personal, bukan institusi. Ketika pusat kekuasaan bergeser, mereka harus mengikuti arus.

Manuver relawan Projo tahun ini jadi salah satu magnet pemberitaan nasional, dari pendukung Jokowi dua periode, Projo mengalihkan dukungannya ke Presiden Prabowo.

Sah-sah saja memang, apalagi tidak ada aturan soal pindah dukungan bagi relawan. Yang jadi sorotan adalah, etika dalam berpolitik.

Projo yang dulunya pendukung Jokowi garis keras selama dua periode sebagai presiden, tiba-tiba meninggalkan junjungannya setelah lengser, mencari perahu baru, menghamba ke penguasa baru.

Rencana Ketum Projo Budi Arie gabung sebagai kader Gerindra juga mendapat penolakan dari akar rumput partai Prabowo.

Kini, jejak lama Projo yang dulunya Pro Jokowi kembali diulik. Sampai mengejar sumber pendanaan relawan yang artinya berubah dari Pro Jokowi menjadi negeri dalam bahasa Sansekerta, dan rakyat dalam bahasa Jawa Kawi.

Projo saat ini adalah salah satu kelompok relawan paling ‘hidup’ dengan berbagai manuvernya. Meski bukan lagi musim Pilpres, Projo tetap muncul di kancah perpolitikan nasional walaupun bukan partai politik.

Yang menarik adalah bagaimana relawan seperti Projo mengklaim sebagai gerakan rakyat, tapi dalam praktiknya beroperasi dengan pola dan anggaran yang menyerupai partai politik. Ini menimbulkan pertanyaan serius tentang akuntabilitas dan peran relawan dalam demokrasi kita.

Mengintip Sumber Pemasukan

Secara umum, sumber dana relawan politik di Indonesia berasal dari tiga jalur utama, kontribusi anggota, donasi simpatisan, dan dukungan dari elite politik atau jaringan bisnis yang memiliki kepentingan elektoral.

Masalahnya,”Transparansi soal ini masih minim, karena relawan sering beroperasi di wilayah abu-abu antara gerakan sipil dan instrumen politik praktis,” kata Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA), Herry Mendrofa kepada inilahcom.

Dalam kasus Projo, kita melihat transformasi dari relawan independen pendukung Jokowi menjadi entitas yang secara terbuka mendukung Presiden Prabowo.”Ini menunjukkan adanya patronase politik yang kuat, dan sangat mungkin pendanaan mereka kini lebih terstruktur dan terhubung dengan kekuatan partai atau pejabat negara,” katanya.

Apakah mungkin sumber keuangan Projo berasal jadi judi online alias judol?

Untuk pertanyaan ini, aparat penegak hukum-lah yang harus turun tangan membuktikan. Yang pasti, kebutuhan dana Projo tidak sedikit.

Agustus 2024, Budi Arie sudah siap mengajak 500 relawan Projo terbang ke Ibu Kota Nusantara (IKN) berkumpul dengan Jokowi sebelum masa pemerintahan berakhir.

Hitung-hitungan saat itu, biaya tiket penerbangan dari Jakarta (CGK) ke Balikpapan (BPN) dengan dua maskapai yang tersedia yakni Batik Air Indonesia, dan Garuda Indonesia, butuh sekitar Rp2.391.491.000-Rp5.558.860.000. Itu hanya biaya tiket sekali penerbangan! Belum akomodasi hotel sampai transportasi selama di IKN.

“Jika masyarakat menduga ada pendanaan judol, menurut saya tidak berlebihan karena judol sudah sangat meresahkan dan relatif tidak ada penanganan yang memadai dari pemerintah/aparat penegak hukum,” kata Peneliti Charta Politika Indonesia, Ardha Ranadireksa kepada inilahcom.

Klarifikasi Projo bahwa anggaran ke IKN untuk 500 relawan dari kantong pribadi, bukan dari APBN, justru semakin mencurigakan, dari mana sumber dana sebanyak itu.

“Jadi jika publik mulai mempertanyakan biaya kehidupan organisasi projo sehari-hari maka projo wajib membukanya. Sebab, kecenderungan terbesar didanai uang judol karena keterhubungan ketua umumnya yang disorot kasus ini, meski kecil tetapi kemungkinan peluangnya besar,” kata Pengamat politik Citra Institute, Efriza kepada inilahcom.

Bagaimana prosesnya? tentu bisa saja melalui jaminan “keamanan” dalam penyelenggaraan judol amat memungkinkan. Sehingga Projo perlu menjelaskan sumber dananya kepada publuk dan dilakukan penyelidikan terkait aliran dana, proses hukum perlu dilakukan dengan baik, benar, dan cermat. Jika terbukti masuk TPPU maka ya mesti diproses.

Budi Arie dan Lingkaran Judi

Nama Budi Arie malang melintang dalam kasus beking situs judi online di Kementerian Komunikasi, saat dia masih Menkominfo. Ia pernah disebut dalam surat dakwaan para terdakwa. Namun Budi berulang kali membantah tudingan bahwa ia terlibat skandal ini, dan menyebut tuduhan kepadanya sebagai ‘narasi jahat’.

Budi Arie diduga meminta jatah sebesar 50 persen dari praktik pengamanan situs perjudian online yang dilakukan sejumlah eks pegawai Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Para terdakwa dalam kasus ini adalah Zulkarnaen Apriliantony, Adhi Kismanto, Alwin Jabarti Kiemas, dan Muhjiran alias Agus.

Keterlibatan Budi Arie diduga bermula sejak Oktober 2023, ketika ia memerintahkan Zulkarnaen mencari seseorang yang dapat mengumpulkan data situs judi online. Zulkarnaen kemudian memperkenalkan Adhi Kismanto, yang meski tidak memenuhi syarat akademis, tetap diterima bekerja di Kominfo karena “atensi” langsung dari Budi Arie.

Adhi Kismanto mempresentasikan alat crawling data yang mampu mengumpulkan data website judi online, awalnya Budi Arie menawarkan Adhi Kismanto untuk mengikuti seleksi sebagai tenaga ahli di Kemenkominfo. Adhi tak lolos dalam proses seleksi itu, namun atensi Budi Arie merubah keputusan tersebut.

Zulkarnaen Apriliantony, Adhi Kismanto, dan Muhrijan alias Agus kemudian kembali bertemu di Cafe Pergrams Senopati untuk membahas praktik penjagaan website judi online di Kemenkominfo dengan tarif sebesar Rp 8.000.000,- per website.

April 2024, setelah praktik penjagaan situs dihentikan di lantai 3 kantor Kominfo, Zulkarnaen dan Adhi menemui Budi Arie di rumah dinasnya di Widya Chandra. Mereka meminta izin untuk memindahkan praktik ke lantai 8, dan Budi Arie menyetujuinya.

Dalam pertemuan di sebuah kafe bernama Pergrams, disepakati pembagian keuntungan: 50 persen untuk Budi Arie, 30 persen untuk Zulkarnaen, dan 20 persen untuk Adhi.

Praktik ini kembali aktif pada Mei 2024. Terdakwa Muhjiran alias Agus menerima uang sebesar Rp48,75 miliar dari pengamanan sekitar 3.900 situs judi online. Pembagian dana tersebut menggunakan kode seperti “Bagi PM” (bagian Menteri), “CHF” (gabungan bagian untuk Zulkarnaen dan Menteri), serta “Bagi Kawanan” (untuk para terdakwa lainnya).

Pengakuan saksi ini sudah dibantah oleh Budi Arie dan menyatakan dirinya tak tahu menahu dan tak terlibat.

Dari cerita di atas, Budi Arie cukup kental dalam dakwaan kasus pengamanan judi online. Namun hingga presiden berganti dan Budi Arie sempat mencicipi jabatan Menteri Koperasi di pemerintahan Prabowo, tidak ada kelanjutan kasus pengamanan judi online.

Projo dinilai memiliki kaitan dengan judol karena kasus judol ini cukup menjadi persoalan besar ketika Budi Arie menjabat sebagai Menkominfo, dan relatif dinilai tidak ada langkah yang tegas untuk menyelesaikan hal ini. Belum lagi diikuti adanya sejumlah keterlibatan sejumlah pegawai Kominfo yang dugaan membantu aktivitas ilegal ini.

“Karenanya menimbulkan dugaan liar di masyarakat, apakah ada pihak-pihak yang berkepentingan dengan judol ini. Apakah kemudian ada pihak yang terkait dengan judol sehingga sulit diberantas?” kata Peneliti Charta Politika Indonesia, Ardha Ranadireksa.

Akibatnya, penilaian masyarakat semakin liar, seperti munculnya tudingan keterkaitan Projo dengan judol seperti tersebut di atas.
Efriza – Pengamat politik Citra Institute

Pendanaan dari judol langsung untuk Projo mungkin kecil, tetapi didanai oleh ketumnya kemungkinannya besar karena pola umum kehidupan organisasi juga dari sumber dana ketumnya. Hanya saja ketumnya menggunakan sumber dana dari mana itu yang tahu Budi Arie sendiri. Kemungkinan sumber dana dari kerjasama, kolega, simpatik, maupun sponsor tentu tak bisa dipungkiri kemungkinan itu terbuka, karena kebutuhan kehidupan organisasi Projo dari pusat sampai daerah diyakini tidak kecil jumlahnya.

 

Editor : INITOGEL

Sumber : wertfootup.com